Jumat, 13 Januari 2012

Sampah Untuk Kesejahteraan dan Pendidikan

Sampah. Bau, jijik, kotor, sumber penyakit, dan lain sebagainya. Orang cenderung tidak suka sampah tetapi suka membuang sampah. Semua orang ingin dijauhkan dari sampah yang dibuangnya sendiri, tak peduli dibuang kemana yang penting menjauh darinya. Tetapi ditempat lain, di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, masyarakat sekitar pun menolak berdekatan dengan sampah. Sehingga beberapa kali terjadi penumpukan sampah di kota-kota besar yang belum diangkut karena adanya penolakan dari masyarakat sekitar TPA sampah.

Lalu, apa hubungannya ’seandainya saya menjadi anggota DPD RI’ dengan sampah? Ya, setidaknya saya tidak ingin jadi sampah ketika saya menjadi anggota DPD RI, yang tidak melakukan apa-apa dan hanya memakan gaji buta. Malu dong. Dengan demikian ketika berdekatan dengan sampah selalu mengingatkan saya untuk tidak menjadi sampah di DPD RI, apalagi menjadi sampah masyarakat.

Indonesia adalah negara urutan ke-4 terpadat penduduknya di dunia. Saya lahir dan dibesarkan di kota Bandung dan tinggal di kota Bogor, Jawa Barat. Tahu dong, provinsi Jawa Barat adalah provinsi terpadat di Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 38,9 juta jiwa (sensus nasional 2010). Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat adalah kota ke-3 terpadat di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Bayangkan berapa kubik sampah yang dihasilkan, khususnya di Jawa Barat? Mau dikemanakan sampah-sampah tersebut? Apa dibiarkan menggunung begitu saja di TPA? Sampai kapan? Karena selama manusia hidup, sampah itu selalu ada dan selalu bertambah.

Karena masalah sampah mungkin tidak dilirik anggota DPD yang lain karena cenderung menghindari hal-hal yang berbau sampah, maka biarlah saya yang berintim ria dengan sampah. Bukan berarti sebagai anggota DPD RI saya kemudian nyambi menjadi pemulung sampah. Tentu sesuai dengan fungsi dan kedudukan saya sebagai anggota DPD RI, saya akan memprioritaskan masalah sampah menjadi program utama dengan visi sampah untuk kesejahteraan dan pendidikan. Misi pertama adalah menggolkan Undang-Undang (UU) otonomi daerah tentang pengelolaan dan pengendalian sampah. Syukur-syukur menjadi UU nasional tentang pengelolaan dan pengendalian sampah. Misi kedua adalah mengubah budaya masyarakat tentang sampah. Misi ketiga adalah Menjadikan sampah bernilai ekonomi.

Keberadaan UU diperlukan untuk mengatur hak, kewajiban, wewenang, fungsi dan sanksi masing-masing pihak baik pemerintah, pelaku industri maupun masyarakat. Juga untuk mengatur lembaga-lembaga dan departemen-departemen yang terlibat dalam penanganan sampah.

Mengubah budaya masyarakat tentang sampah dilakukan dengan cara transfer pengetahuan kepada masyarakat antara lain melalui penyuluhan dan kampanye. Namun tidak mudah memang mengubah satu hal saja kebiasaan seseorang yang sudah mendarah daging. Apalagi pemahaman yang minim karena tingkat pendidikan yang rendah. Yang terpenting untuk mengubah budaya tentang sampah adalah dengan mendidik anak-anak sejak usia dini dan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah tentang bagaimana cara membuang sampah dan mengendalikannya sehingga diharapkan menjadi kebiasaan yang benar ketika dewasa.

Terakhir adalah ekonomi kreatif sampah. Jika cara membuang sampah sudah menjadi budaya yang benar, maka akan mudah untuk memilah dan mengolah jenis sampah-sampah tertentu menjadi barang yang bernilai ekonomi dengan kualitas ekspor, sehingga kita dapat mengekspor sampah yang bernilai kreativitas tinggi ke luar negeri dan mendatangkan devisa bagi negara. Jika bangsa sudah sejahtera, maka pendidikan akan semakin murah bahkan gratis. Jika tingkat pendidikan masyarakat semakin baik, maka semakin maju bangsa ini.

1 komentar: